Previous Post
Archives
Ukhwah.com :: Top Blog
Manisnya Rayuan Berbuah Dosa- (2-2)
Monday, May 21, 2007
Di tengah-tengah Adil mengemudikan mobilnya secara gila-gilaan diiringi dentuman alunan musik yang memekakkan telinga, dengan berjoget senang dan mabuk atas apa yang telah diteguk dari mangsanya yang cantik pagi ini, tiba-tiba dia menerobos jalur sempit dan tikungan yang sangat berbahaya yang mengakibatkan mobilnya yang sedang melaju kencang itu menabrak mobil lain yang ada di jalan tersebut. Spontanitas, tubuhnya bergoncang hebat akibat insiden yang mengerikan itu yang sempat menjadi perhatian orang-orang yang lalu lalang. Adil keluar dari mobilnya dalam keadaan kalut dan panik. Polisi lalu lintas pun datang untuk menginvestigasi kejadian. Setelah mereka mendeteksi tempat kejadian, terbuktilah oleh mereka bagaimana yang sebenarnya terjadi. Polisi penyelidik berkata kepada Adil, "Kenapa kamu kemudikan mobilmu dengan kecepatan yang tinggi?! Tanpa ragu lagi, kamulah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas insiden yang tragis ini!!"

Kemudian dia menyuruh untuk menahan dan menyekapnya dalam tahanan di balik terali besi hingga tuntas prosesi hukum yang berkaitan dengan insiden tersebut. Seketika, Adil pun langsung kelenger. Betapa hatinya sibuk memikirkan Rabab dan bagaimana dia kembali ke kampus?!! Apalagi dia telah menguncinya di dalam apartemen. Dia mulai membayangkan malapetaka yang bakal menimpa jika saja ayah Rabab tiba di kampus dan tidak mendapati Rabab ada di sana.

Dia pun memelas dan memohon kepada polisi agar melepaskannya meski hanya satu jam untuk menyelesaikan urusannya yang amat penting lalu setelah itu polisi bisa menawannya sesuka hatinya. Namun, kata-kata dan permohonannya itu berhembus bagaikan angin lalu. Polisi itu tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dia meminta polisi ronda (patroli) untuk membawa Adil ke tempat tahanan.

Sementara Rabab terpaksa harus menanti kedatangan Adil, akan tetapi Adil ternyata telat sekali. Kegelisahan mulai menghinggapinya dan keragu-raguan mulai menghantuinya. Dia mengawasi jarum-jarum jam dari waktu ke waktu. Terbayang di kedua pelupuk mata dan lamunannya gambar ayahnya yang mulia sedang menunggunya di pintu kampus untuk membawanya pulang ke rumah seperti sediakala.

Dia kebingungan memikirkan masalahnya. Dia tidak tahu apa yang akan diperbuat? Juga bagaimana dia mengambil sikap? Apalagi pintu apartemen dalam keadaan terkunci. Dia tak punya kunci duplikatnya untuk bisa keluar dan mengurai tabir penutup terha-dap dosa dan kejahatannya, yang jika sampai diketahui ayahnya, niscaya dia akan menyayat-nyanyatnya menjadi beberapa potongan dan akan membuangnya ke hutan rimba sebagai mangsa para binatang buas, demi mengubur aib dan cela, juga sebagai solusi dari dosa yang takkan diampuni oleh masyarakat, dan sekaligus menjadi obat terhadap luka yang tak terobati. Ialah luka harga diri, kehormatan dan kemuliaan.

Rabab duduk di atas kursi yang empuk, tapi seolah-olah dia sedang duduk pada tusukan duri dan jarum, karena saking gelisah dan ketakutan yang akan menimpanya. Pada saat itu, dia berharap kalau saja bumi terbelah di bawah kedua telapak kakinya untuk menelannya sepanjang masa!! Rabab berjalan menuju pintu apartemen dan terduduk di sampingnya sambil menunggu kedatangan Adil dengan penuh sabar, namun tak ada gunanya.

Dia memandangi arloji yang menempel di pergelangan tangannya. Dia pun melihat hanya tersisa waktu sedikit dari kedatangan ayahnya untuk menjemputnya dari kampus. Seketika, dia gemetar dan seluruh persendiannya bergetar karena ketakutan yang akan menampar tulang-tulang rusuknya. Hatinya semakin berdegup kencang. Dadanya terasa sesak. Dia merasa tercekik. Kemudian dia mulai memutari ruangan apartemen bak ular yang melingkar di dalam sarangnya dalam kondisi terkepung api dan meng-inginkan jalan keluar.

Dia terus memikirkan nasibnya dan merenungi aibnya di hadapan ayah, keluarga dan teman-temannya sewaktu dosa yang diperbuatnya bersama Adil itu diketahui mereka. Dia tetap tidak menemukan sebuah solusi meskipun telah lama berpikir dan merenung, selain menutupi mukanya dengan kedua telapak ta-ngannya, meneteskan air matanya yang bercucuran, dan menangis tersedu-sedu serta bercampur takut dan cemas…

Adil masih terdampar di balik terali besi penjara yang hampir mencekik nafasnya. Aliran darah panas pun mulai mendidih di kepalanya…. Dia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya untuk bisa menyelamatkan Rabab dari dilema yang dialaminya?? Dia duduk dalam keadaan risau. Dia tak tahu apakah dia berada dalam khayalan atau kenyataan!! Dalam dirinya, dia mulai berpikir tentang cara mengatasi kesulitan yang menakutkan ini!!

Setelah berpikir panjang, muncullah sebuah ide yang menyusup ke otaknya setelah menguras semua jerih payah… Yaitu, dia harus menelpon salah seorang temannya yang mempunyai kunci duplikat apartemennya yang membuat Rabab terkurung di dalamnya, dan memintanya untuk menyelamatkannya dari dilemanya dan segera mengantarnya ke kampusnya secepat mungkin.

Akhirnya, dia minta izin kepada polisi lalu lintas, dan mereka pun mengizinkannya untuk menelpon beberapa saat untuk setelah itu kembali ke tempatnya di tahanan.

Adil bergegas ke tempat telepon dan langsung mengangkat gagang telepon. Dia memencet beberapa nomor dan dalam waktu singkat terdengarlah suara di telinganya berkata, "Halo, dengan siapa?!" Dengan suara bergetar, Adil menjawab, "Hai Hamid, aku temanmu Adil. Dengarkan aku baik-baik dan pahamilah apa yang kuucapkan kepadamu.." Kemudian dia menyambung ucapannya, "Aku ingin kamu mengerjakan suatu urusan penting untuk menyelamatkanku dan menyelamatkan seorang gadis yang bersamaku…"

Adil menceritakan tema bahasan kepada saha-batnya, Hamid, secara singkat sekali dan berkata kepadanya, "Saat ini, aku ingin kamu pergi ke apartemen dan mengantarkan gadis itu ke kampusnya dengan segera sebelum ayahnya datang. Aku takut jika ia tidak mendapati putrinya berada di gerbang kampus, maka terbongkar dan tersingkaplah masalah ini."

Hamid berkata, "Di mana kamu sekarang, wahai Adil?!"
Adil menjawab, "Aku sekarang ditahan di penjara lalu lintas karena mobilku menabrak mobil lain…Aku tidak bisa menceritakan rincian kejadian kepadamu melalui pesawat telepon. Aku berharap kamu segera berangkat dan mengerjakan apa yang kukabarkan pa-damu sebelum terlambat…"

Hamid berkata, "Aku segera berangkat melaksanakan apa yang telah kamu kabarkan kepadaku. Percayalah sepenuhnya dan tenanglah mengenai hal itu."

Dan, pembicaran pun berakhir sampai di situ. Belum sempat Hamid menutup gagang telepon hingga air liurnya mulai mengalir untuk bisa bersenang-senang dengan gadis itu. Dengan terbata-bata dia berkata dalam ha-tinya, "Selagi Adil telah bersenang-senang dengan gadis itu, kenapa aku tidak ikut bersenang-senang dengannya pula? Dia harus menyepakati hal itu?!! Jika dia menolak itu, maka aku akan mengancamnya untuk tidak akan mengantarnya ke kampusnya. Akibatnya, dia akan telat terhadap ayahnya dan terbongkarlah rahasianya?!! Pada saat itulah, dia akan menyerah dan tunduk kepada perintahku…"

Kemudian dia berkata lagi kepada dirinya, "Amboi, rampasan yang amat berharga dan buruan yang begitu mudah!! Dengan cepat, Hamid mengendarai mobilnya menuju apartemen Adil, sambil memimpikan bisa melakukan hubungan mesum bersama gadis yang cantik itu dan memimpikan dirinya akan menikmati pesonanya. Akan tetapi, mewanti-wanti semua yang akan terjadi. Siapa tahu gadis itu menolak ajakannya, dan ketika itulah dia harus memerkosanya dengan memakai kekuatan!! Yang penting, mangsa yang begitu mudah ini tidak tersia-siakan olehnya baik itu dilakukan suka sama suka ataupun secara paksa. Karena itu, dia membawa di saku dalamnya pisau belati untuk menakut-nakuti mangsanya jika sewaktu-waktu dia menolak untuk memberikan apa yang diinginkannya."

Hamid melaju menuju apartemen Adil dengan kecepatan tinggi, sementara punggungnya terbakar terik matahari demi nafsunya untuk bisa menggaet gadis yang amat mahal itu!! Ketika dia telah tiba di apartemen, dia mengusap keringat di keningnya dan tersendat-sendat nafasnya yang sedang terengah-engah.

Untuk memberi sinyal kepada gadis yang ada di dalam apartemen, Hamid pun mengetuk pintu apartemen dengan ketukan-ketukan ringan, yang terdengar di kedua gendang telinga Rabab seolah pukulan-pukulan nyaring yang menjauhkan darinya segala ketakutan, kegelisahan dan kecemasan. Karena dia meyakini si pengetuk adalah Adil untuk mengembalikannya ke kampus sebelum ayahnya tiba. Kemudian Hamid membuka pintu dan mendorongnya. Dia begitu terobsesi untuk melihat gadis yang sangat cantik itu dan membayangkan dirinya melakukan kehinaan dan dosa bersamanya.

Akan tetapi, betapa ngeri bercampur kaget dan pedih saat Hamid melihat hal yang bisa menghilangkan akal dan nalar sehatnya dan menerbangkan hati dan pikirannya!! Dan andaikan saja dia tidak pernah melihatnya!! Sungguh, Hamid melihat saudarinya, Rabab sedang duduk di dalam apartemen!! Ternyata, Rabab alias adiknya adalah pacar dan kekasih Adil yang telah mengajaknya berkencan di dalam apartemennya!!

Rabab tersentak karena saking kagetnya. Ternyata Hamid, saudara kandung tertuanya sedang berdiri di hadapannya. Apa yang membuatnya datang kemari saat ini!! Bagaimana Hamid bisa tahu dia ada di dalam apartemen ini?!! Apakah Hamid mengetahui dia telah menjual harga diri dan kehormatannya kepada Adil pada pagi hari ini?!! Seketika, pandangannya tampak redup. Mulutnya terbungkam karena risau dan terkekang oleh rasa takut. Dia merasakan adanya ledakan mengerikan yang menyemburkan hawa panas ke dinding-dinding kepalanya di depan pelototan kedua mata kakaknya yang telah hilang akalnya. Dia bisa merasakan tingginya nada suara Hamid sewaktu berteriak ke mukanya seperti orang kalap setelah api cemburu tersembur dari kedua matanya. Hamid berkata, "Apa yang telah kamu perbuat, hai wanita jalang yang mencoreng kehormatan, kemuliaan dan pamor kami?!"

Rabab pun gemetar bagaikan bulu diterpa angin yang sangat kencang, sementara rasa malu membuat merah raut mukanya! Hamid tak butuh bertanya ke-padanya tentang apa yang membuatnya nyasar ke apartemen ini! Adil telah memberitahu kepadanya melalui telepon bahwa dia adalah pacarnya, dan bahwa Adil telah merenggut kegadisan dan kesuciannya.

Hamid mulai menatapnya dengan pandangan yang berapi-api dan menakutkan seperti pandangan yang mendahului kegilaan. Lalu dia menjambak rambut Rabab yang hitam berombak dan mendorongnya dengan kuat hingga Rabab terjerembab ke tanah. Rabab bangun dan bergelayutan pada rumbai baju kakaknya setelah tersungkur di hadapannya dalam keadaan tertunduk dan memohon, sedang air matanya memba-sahi kedua pipinya. Dia memelas kepada Hamid dengan suara lirih dan sesenggukan, "Berilah kasihan dan ampunan, wahai Hamid. Aku berjanji padamu untuk tidak akan mengulangi perbuatan semacam ini sepanjang hidupku… Sementara darahnya membeku di mukanya, Hamid membalas ucapannya, "Sekarang dan setelah semuanya terjadi, kamu baru mengucapkan kata-kata ini. Sesungguhnya kematianmu lebih baik bagi kami daripada hidupmu. Kamu mencemarkan nama baik kami dan mencoreng muka kami dengan aib dan kehinaanmu di tengah-tengah masyarakat, wahai wanita jalang…"

Sampai sini, Hamid mengeluarkan sebilah pisau yang dibawanya di balik bajunya. Dia mengacungkannya tinggi-tinggi ke atas, lalu menghunjamkannya ke dada saudarinya dan menusuknya dengan tusukan yang menembus ulu hatinya. Rabab mengeluarkan jeritan yang menggema yang membuat dinding apartemen bergoncang. Kemudian dia mengikutinya dengan tusukan-tusukan secara beruntun yang mencabik-cabik isi perutnya, untuk menewaskannya dan mematikan jalinan cinta gelap yang menggelora di hatinya dan menghilangkan aib dan cela bersamanya!! Secara bertubi-tubi, tusukan-tusukan pun dihunjamkan ke tubuh Rabab yang bersimbah dosa. Dia menjerit dan meminta tolong…yaitu jeritan-jeritan yang mencerai beraikan hati. Belum sempat jeritan-jeritan itu merada secara perlahan-lahan, hingga Rabab tersungkur menjadi mayat yang beku dan bersimbah darah segar yang berwarna kemerah-merahan, tanpa mengeluarkan keringat dan mengedipkan mata. Rabab pun telah tewas dibunuh Hamid, kakaknya sendiri sebagai balasan atas harga diri dan kehormatannya yang tercoreng!!

Sampai di sini, Hamid tetap berdiri pada bangkai yang membeku itu, sedang tangannya berlumuran darah. Dia berteriak dan berkata, "Kini… telah mati kehinaan dan aib itu!! Kini… telah terkubur cela itu!" Kemudian dia duduk pada sofa terdekat untuk beris-tirahat dan menghirup nafasnya yang tersengal-sengal… Ketika dia sedang rebahan di atas sofa, tiba-tiba dia mendengar bunyi kunci bergerak di pintu dan mendengar suara sahabatnya, Adil memanggil, "Rabab…. Kekasihku… Ini aku telah kembali kepadamu…"

Kedatangan Adil ke apartemen saat itu adalah suatu hal yang tak terduga, karena semestinya dia masih tertahan di tempat pemarkiran. Akan tetapi, pada seksi lalu lintas itu dia bertemu salah seorang polisi yang mempunyai hubungan erat dengannya. Polisi ini berusaha mengeluarkannya dari tempat tahanan ini dengan jaminan uang. Begitu keluar dari tempat pemarkiran itu, Adil bergegas menuju ke apartemennya untuk memastikan apakah Rabab masih berada di dalamnya. Atau sahabatnya, Hamid telah membawa dan mengantarnya ke kampusnya. Mendengar suara Adil, serentak api cemburu berkobar dalam hati Hamid. Dengan sigap, dia langsung melompat, meraih pisaunya dan bersembunyi di balik pintu. Belum sepenuhnya Adil masuk ke dalam apartemen dan menjulurkan punggungnya ke pintu, hingga Hamid melompat dari belakang dan menghempaskannya ke tanah lalu menduduki dadanya dan menghujamkan pisaunya ke wajah Adil.

Adil terpana dengan pemandangan ini. Dia berteriak memohon dan memelas sambil berkata, "Hamid, apa yang terjadi denganmu?! Apa yang telah menimpamu?! Kenapa kamu menghunjamkan pisau kepadaku sedang aku adalah sahabat, teman dan patner hidupmu?"

Hamid berteriak dan berkata, "Lihatlah mayat itu. Sesungguhnya dia adalah mayat Rabab, kekasihmu. Aku telah membunuhnya dengan kedua tanganku ini. Tahukah kamu siapa Rabab ini, hai Adil? Dia adalah adik dan saudari kandungku dari ibu dan bapakku! Dia adalah saudariku yang telah kamu rampas harga diri, kesucian dan kehormatannya. Aku harus membunuhmu, wahai Adil, seperti aku telah membunuhnya, agar kejahatan dan aib ini sirna seiring kematian kalian!!

Kemudian dia menurunkan pisaunya dan menghunjamkannya secara bertubi-tubi ke dada Adil yang langsung menjerit, meminta tolong dan memelas, tapi sudah tak ada gunanya!! Darah memuncrat dari tubuh Adil, dan dia berusaha melawan sebisanya. Namun, dia tunduk dan menyerah di tangan tukang jagal dan sekaligus sahabatnya, Hamid. Tanpa henti-hentinya tusukan pun dihunjamkan oleh Hamid sampai dia yakin betul bahwa Adil telah tewas dan menjadi mayat yang membeku dan tak bergerak!!

Pada saat itulah, Hamid berdiri pada bangkai Adil yang bermandikan darah segar, lalu dia tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Kini, aku telah membalas harga diri dan kehormatanku darimu, hai orang hina yang biadab…" Kemudian dia membanting tubuhnya yang capek dan letih pada salah satu mebel empuk yang ada di dekatnya dan dia pun berbaring rebahan di atasnya.

Untuk beberapa saat lamanya, Hamid dalam kondisi seperti ini. Lalu dia dikejutkan pintu apar-temen yang didobrak dan dia melihat sekelompok polisi masuk. Polisi langsung berkata, "Jangan bergerak dari posisimu, dan jangan berusaha melawan atau kabur. Rumah ini sudah terkepung oleh polisi."

Hamid tahu bahwa tak ada gunanya untuk mela-wan dan memungkirinya. Mayat dan darah yang melumuri tanah, juga pakaian dan kedua tangannya yang berlumuran darah sebagai saksi atas apa yang telah terjadi. Hamid menyerah kepada apa yang terjadi. Dia pun diam tak bergerak dan salah seorang polisi menghampirinya lalu memborgol kedua tangannya, tanpa ada perlawanan darinya.

Polisi pun menginterogasinya, lalu mereka berkemas-kemas meninggalkan apartemen dan menuju markas. Pak polisi bertanya, "Apa yang telah terjadi?! Kami menerima informasi dari salah seorang peng-huni gedung apartemen tentang keberadaan seorang lelaki dan wanita di salah satu ruang apartemen dan bunyi suara jeritan dan minta pertolongan dari si wanita. Lalu kami pun datang untuk menyelamatkannya, tapi ternyata kami datang telat dan setelah semuanya terjadi… "

Hamid menjawabnya dengan sikap dingin dan santai, "Ini sahabatku Adil, dan itu adalah saudariku Rabab. Adil membawanya ke apartemen ini pada pagi ini dan merenggut kehormatannya atas dasar suka sama suka dan kesepakatan bersama, lalu aku pun membu-nuh keduanya untuk menghilangkan kehinaan, cela dan aib bersamanya. Nah, sekarang aku berada di hadapan kalian, maka silahkan kalian memperlakukan aku sesuka hati !!"

Hamid digiring ke markas polisi, dan penyelidikan pun selesai. Dia telah mengakui semua apa yang telah diperbuatnya, dan berkas-berkasnya telah dipindahkan ke Lembaga Pengadilan untuk menjatuhkan vonis yang sebanding dengan tindakannya. Akhirnya, pengadilan menjatuhkan vonis mati terhadapnya.

Pada suatu pagi, terbit koran harian yang memuat pada lembar halaman bagian depan (headline) berita pelaksanaan eksekusi mati terhadap Hamid, dan men-ceritakan semua rincian tragedi berdarah yang memilukan itu…

Demikianlah terurainya tabir penutup terhadap kesedihan yang meresahkan ini. Demikianlah tragedy yang mengerikan itu berkesudahan dengan terbunuhnya tiga nyawa sekaligus: Adil, Rabab dan Hamid. Penyebabnya adalah iseng-iseng lewat telepon, rayuan manis, kata-kata cinta, menuruti ajakan syahwat yang membabi buta, dan penelantaran oleh kedua orang tua untuk memberi putrinya pendidikan yang baik dan sebaliknya malah mempercayainya secara berlebihan. Demikianlah, buah rayuan itu berbuntut hilangnya kehormatan, terbunuhnya nyawa manusia, serta tersingkapnya cela, kehinaan dan aib. (lihat: Qatilat al-Hatif, karya Abul Qa'qa' Muhammad bin Shalih bin Ishaq ash-Shai'ari)

Maka, ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki pandangan.

(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN, KARYA MUHAMMAD SHALIH AL-QAHTHANI. PENERBIT DARUL HAQ, TELP.021-4701616)
posted by remaja kini @ 4:50 PM   |
0 Comments:
Post a Comment
<< Home